Sabtu, 11 Juni 2011

Wanita Super

Cinta itu ibarat air sungai yang terus mengalir tanpa henti. Meskipun ia terhalang bebatuan ia akan terus melaju mengalir terus di sela-selanya. Itu adalah prinsip Kiran yang tak bisa hidup tanpa cinta. Setiap kali ia ditanya tentang alasan mengapa dia bergonta-ganti pasangan bahkan mendua dan mentiga seenaknya. Itu yang selalu ia ucapkan, “arus sungai ku deras, susah membendungnya!” begitu lanjutnya seraya tertawa lepas. Kiran adalah tipikal wanita muda metropolis dengan karir cemerlang dan latar belakang yang memang sudah bagus dari sananya. Ayahnya adalah pejabat publik, ibunya seorang dokter gigi. Ia terbiasa dengan kehidupan luar negeri karena ayahnya sempat lama di negeri orang. Dia aktif di berbagai organisasi yang peduli pada masalah wanita, penyakit dan lingkungan. Kesibukannya luar biasa, cantik, menawan dan otaknya secair raksa, sedikit keras kepala tapi seperti raksa, ia peka.

Dibalik semua kesibukannya dia adalah wanita yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum kopi dan memandang langit, hobinya masak dan bersih-bersih. Aku kadang heran bagaimana ia membagi semua waktunya untuk bekerja, berkegiatan sosial dan yang terakhir pacaran tidak hanya dengan satu orang.
Pernahkah ia kena batunya? Pernah!, bahkan sempat ramai karena dua pacarnya itu saling beradu jotos di sebuah pusat perbelanjaan. Dia diminta memilih satu di antara dua. Dengan lugas pun ia berkata tidak keduanya dan ia pergi meninggalkan kedua lelaki malang itu dikerubuti orang-orang yang ingin tahu.
“Gue nggak suka, kalau mereka ngambil hati gue dengan supremasi otot dan bukan otak.” Tapi apakah kedua lelaki tadi kapok? Tidak! Mereka masih memohon padanya untuk kembali.
“Buat gue sekali aja mereka pakai otot, cukup! Nggak ada balikan atau apapun itu. Mereka tahu gue paling benci cowok main tangan. Walaupun kepada sesama laki-laki apalagi perempuan!, tapi toh mereka tetap lakukan. tetep nggak!”
“Dion itu baik Kiran, anaknya direktur BUMN!”
“mau anak Presiden kek, aku nggak peduli!, toh yang direktur Bapaknya!. Dia cuma lulusan Ausie yang belum tahu artinya kerja.”
“kalau Josh?. Bukannya kamu bilang kamu suka sama Josh?”
“Tiara sayang, Josh memang baik, karirnya bagus, dewasa, romantis dan aku sayang sama dia. Tapi sekali dia main tangan, semuanya selesai!”
“Tapi Josh hanya membela diri, kamu sudah kenal lama sama mereka, kamu tahu tabiat mereka satu persatu. Okelah Dion cepat naik pitam, tapi Josh?. Dia itu teman kamu sejak SD mungkin TK! Apa kamu masih tidak kenal dia?”
Kiran terdiam mendengar kata-kataku dan memilih duduk di pinggir ranjangnya.
“Iya, Ti, aku nggak kenal dia, aku nggak pernah merasa yakin benar-benar kenal dia.” Ujarnya pelan.
“Apa Josh pernah kasar terhadapmu?” tanyaku memelan.
“Tidak, hanya saja…” Kalimatnya menggantung di awang-awang. Kiran menjatuhkan diri di atas kasurnya yang memantulkan tubuhnya sedikit baru kemudian berhenti. Namun wajahnya tetap memandang ke atas, ia diam sebentar lantas membuang wajahnya ke arah jendela dan memandang langit yang terang. Aku hafal sekali dengan tingkahnya ini.
“Dia lagi?.” Tanyaku. Tapi Kiran tetap diam
“Harus aku bilang berapa kali lagi supaya kamu mengerti?. Lukamu itu tidak akan sembuh kecuali kamu melanjutkan hid….” Kata-kataku terpotong dengan dering telepon genggamnya yang cukup nyaring.
Sekejap Kiran menyambar telepon yang ada di sebelahnya, memang barang yang satu ini tidak pernah ia tinggalkan.
“Halo, baik Pak, segera saya berangkat.” Sekejap setelah pembicaraan usai ia setengah berlari menuju lemari bajunya. Memilih beberapa dan memasukkannya ke dalam tas bepergian dan menjinjing peralatan yang selalu ia bawa ketika bepergian. Semua sudah terkemas rapi dan ia siap pergi dalam waktu sekejap.
Aku menghela nafas.
“Kemana lagi sekarang?” tanyaku dengan tidak semangat. Aku masih selalu terbengong-bengong ketika melihatnya bersiap pergi meskipun sudah ratusan kali aku menyaksikannya.
“Jayapura!” jawabnya singkat sambil tersenyum disela-sela ia mengoleskan lipstick di bibirnya yang mungil itu.
Sekejap kemudian taksi sudah menunggu di luar apartemen untuk membawanya menuju bandara.
Belum lama ia keluar telpon berdering lagi, oh kali ini telpon genggam ku. “halo” kataku pada seseorang di seberang.
“Tiara darling, ” suara riangnya sangat ku hafal.
“Apalagi?” tanyaku ketus.
“kamu siap-siap deh, bos gue nggak ikut. Kamu ikut ya, taksi barusan puter balik.”
“Eh gila lu, gue kan belum ada persiapan.”
“aku tahu kok tas punggungmu selalu siap sedia kan di belakang lemari?.”
“sejak kapan kamu buka-buka lemariku?” tanyaku sambil berteriak dan dijawabnya dengan terkekeh-kekeh.
Dibawanya aku ke pulau paling timur Indonesia itu, seharian aku mengikuti perjalanannya bak tulang ekornya. Selesai ia membereskan urusan kantornya, tak lupa ia mengunjungi kantor perwakilan organisasi-organisasi sosialnya, menengok anak-anak korban bencana alam dan menyalurkan bantuan. Aku selalu terperangah dengan tingkahnya, kapan ia mengumpulkan dan mempersiapkan segalanya padahal tugas ini baru ia dapatkan pagi tadi. Tapi memang telpon genggamnya tak pernah berhenti berdering dan ia pakai untuk nelpon, mailing dan mengirim sms. Semua ia lakukan seorang diri. Koordinasi yang luar biasa dalam sebuah tubuh seorang wanita. Aku hanya bengong dan takjub.
“Heh, kenapa kamu geleng-geleng begitu?” tanyanya mengagetkan aku yang asik sendiri dengan pikiranku hingga tak terasa aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Ah tidak, bagaimana kamu bisa cepat menikah kalau begini terus?” gumamku.
“hah, kamu bilang apa?” tanyanya ditengah suara baling-baling helikopter.

Sepulang dari Jayapura dan berkeliling beberapa daerah di sana kami berdua pulang. Baru di perjalanan ini kami bisa mengobrol lebih banyak.
“Jadi apa karena dia, kamu jadi menyibukkan diri begini?” tanyaku memulai percakapan.
“dia siapa?” tanyanya pura-pura.
“ayolah!. Malasnya aku mengulang-ulang pertanyaan pada orang yang pura-pura bodoh.”
“kembali pikirannya menerawang.” Josh yang ada sekarang dihadapanmu. Meski kamu bilang dia begini dan begitu, tapi aku tahu kamu benar-benar suka dia.”
“Tapi dia sudah berantem di hadapan semua orang!”
“Itulah kecerdikanmu, kamu sengaja menjebak Josh dan Dion supaya mereka berantem, aku nggak tahu gimana caramu tapi itulah yang terjadi. mengakulah!”
Kiran terlihat kaget dan kemudian diam menatapku. Lama kami jeda dalam diam.
“Gue nggak tahu, gimana Lo bisa tahu, tapi itu memang benar, aku takut Ti. aku takut sekali ketika aku benar-benar jatuh cinta tapi dia kemudian meninggalkan aku!” air mata menetes dengan tiba-tiba di ujung matanya.
“Josh bukan Redian!, dan lagi pula aku yakin, Redi sebenarnya tak mau meninggalkanmu! Dia pergi dengan terpaksa…” kata-kataku terhenti begitu saja.
“perjalanan masih panjang Kiran, dia pasti bisa tenang kerena dia telah menitipkan orang terkasihnya pada sahabatnya sendiri.”
“Aku merasa berkhianat padanya kalau aku bersama Josh, dia yang selalu akan aku ingat dan memang belum bisa aku menerima karena dia meninggalkanku.”
“Kiran, Redian sudah meninggal, dia sudah mati!” tegasku.
Air matanya kian deras. Sisa perjalanan aku diam dan dia sesekali mengusap air matanya.
“Maskaramu meluber!, lipstikmu ke pipi, totally make up-mu kacau!” kataku memecah keheningan.
“hah? Yang benar?” segera ia mencari cermin dan berkaca.
“ah kamu bohong!. Iseng banget si?” katanya sambil tersenyum.
“tuh kan, kamu bisa lupa cuma karena make up berantakan.”
Dia tertawa lepas, sambil menyeka air matanya. Semenit kami baru mendarat, telpon genggamnya berbunyi.
“Josh!” katanya.
“Jawab!”
“Gue mesti gimana? Gue mau ngomong apa sama dia?”
“Lu yang jawab apa gue?” todongku.
“halo…” jawabnya kemudian melangkah menjauh.
Setengah jam kemudian kami sudah di dalam mobil Josh dan Kiran masih dalam diam berpura-pura marah pada Josh. Aku hanya terdiam dan tersenyum dalam hati. Luar biasa sahabatku ini. Sang wanita super.

4 komentar:

yanti mengatakan...

nemu t endi nduk idene he he he

Hermin Prajayani mengatakan...

bagus nggak tapi? dari mana-mana terus di satukan... ehehehe... btw ini Yanti mbak ku bukan? ehehehe terima kasih sudah membaca sampai habis.

heroe... mengatakan...

he..he..he..
aku tahu....

Hermin Prajayani mengatakan...

Salam kenal Bapak Heroe.
:)