Jumat, 29 Juli 2011

Little Jogja in the heart of Jakarta

Malam hari kemaren saya sampai jam 8 masih di kantor. Jam 8 masih belum makan malam, karena itu ketika datang ajakan dari teman untuk makan malam di Sabang (salah satu jalan di Jakarta Pusat yang terkenal dengan kulinernya, artinya banyak warung dan restoran berdiri di sepanjang jalan Sabang.)
"mau makan di mana?" tanya saya
"makan di gudeg gledeg di sabang yuk!" jawab teman saya.
Mendengar namanya saja sudah terbayang rasa jenis apa yang akan disajikan.
Tidak memedulikan kondisi perut yang masih agak berirama cha-cha karena sudah dua hari tidak berhenti makan pedas saya nekat iya kan saja (glek!) nelan ludah.

Sampai di tempat dalam waktu singkat karena lokasi dekat dengan kantor. Ternyata tempatnya berada di sebuah gang sebelah kiri jalan sabang berseberangan dengan kopi tiam oey yang melegenda itu. Begitu memasuki area gang kecil itu indra pendengaran saya disuguhi dengan lagu-lagu keroncong tempo dulu seperti bengawan solo dan selendang sutra. Warung gudeg itu sebenarnya gang jadi sifatnya outdoor tapi beratap plastik. Jika siang hari gang itu adalah pintu masuk menuju BKKI.

Sederhana saja isi warung gang itu, gendok-gendok tempat makanan dijajar disisi kiri seorang ibu tukang racik gudegnya ada dibelakang jajaran gendok tersebut. Disebelahnya ada gerobak berwarna biru yang jika siang adalah kaki lima mirip angkringan yang menjual makanan juga. Disampingnya lagi terdapat lesehan yang lebih mirip sebagai meja pendek yang besar. Area lesehan ada dua sisi kanan dan kiri mepet dinding yang menjadi batas gang. di sisi kanan terdapat tiga meja dengan masing-masing empat kursi. Kami datang bertiga dan memilih salah satu meja karena saya pakai rok jadi terlalu risky meski saya sudah pakai celana pendek.

Tak lama kami duduk, Seorang ibu datang menagih pesanan. Setelah berpikir sejenak saya memilih gudeg dengan krecek, telor dan ayam suwir. Sang Ibu pun menanyakan pedas atau sedang, seorang teman saya memilih sedang. Saya dan teman yang lain memilih pedas, lagi-lagi nekat. Alasannya adalah kalau warung ini berani pasang nama gledek dibelakangnya pasti! karena pedasnya makanan yang disajikan.

Porsi sepiring gudeg itu pas untuk saya dan cenderung kurang untuk dua teman saya. Gudegnya menurut saya tidak mirip dengan gudeg Jogja tetapi lebih mirip seperti gudeg di daerah asal saya Jawa Timur. Rasanya tidak terlalu manis, telornya lebih basah dibanding dengan gudeg jogja yang kering dan dari warna telornya gudeg Jogja jauh lebih coklat. 

Tidak menunggu lama saya mulai makan nasi dengan sebuah cabe yang menjadi pengganti sambal. Meski judulnya cabe tetapi cabe ini bukan seperti cabe pada umumnya, melainkan cabe yang sudah diolah mungkin dimasak dengan sedikit minyak dan bawang putih sehingga punya aroma dan rasa yang khas. Begitu cabe tadi menyentuh lidah saya. uhm.... yak seperti yang bisa kita tebak bersama rasanya. Puedas. Saya tidak melanjutkan makan cabenya. Saya makan gudegnya (sayur tewel/nangka muda) dengan nasi. Begitu gudeg habis saya pindah ke kreceknya (kulit sapi) dan ini surprisenya, rasa krecek yang biasanya gurih dan sedikit pedas, kali ini terasa membakar lidah. Kebiasaan saya yang suka makan lauk diakhir kegiatan makan jadi derita bagi lidah saking pedasnya krecek itu sedangkan penetralnya yaitu nasi sudah habis. Jadilah perut saya rock en rollan. hehehe

Selesai makan dan membayar saya pulang dengan perut makin liar. Buat pembaca yang suka makanan manis dan pedas patut mencoba, untuk yang hobby nongkrong suasana emperan ini cukup nyaman. musik, suasana dan ibu penjual yang ramah menjadikan tempat ini pasti kami kunjungi lagi. Sebelum pulang seorang Ibu memberikan kartu namanya dan yup. Tertulislah di situ kata-kata yang menjadi judul tulisan ini. Keroncongnya masih bermain di kepala saya dan membuat ngantuk tapi sebelum saya mencium empuknya bantal saya harus lari kemar mandi dulu... Night everyone!
PS : fotonya nanti nyusul ya...!

Tidak ada komentar: