Kamis, 26 Mei 2011

Ungkapkan dengan Kata, Lakukan dengan Perbuatan

Jember, 5 Maret 2008
Kemaren waktu lagi les, saya tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Bu tutor. Bahwa sekarang ini orang Indonesia lebih mencintai bahasa asing daripada bahasanya sendiri. Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya. Masih kata sang tutor, bahasa sms saja untuk menyatakan kecintaan, kita akan nulis ILU sebagai kependekan dari I Love yoU. Mana ada yang pake ACK yang dalam bahasa Indonesia yang maknanya nyaris sama (Aq Cinta Kepadamu), kalau bahasa Indonesia saja kayak begitu, nasib yang lebih buruk menimpa bahasa daerah. Karena saya hanya mengerti bahasa daerah jawa, mana ada yang bilang ATMS (Aku Tresno Marang Sliramu)di sms buat pujaan atau kekasih?. Terlalu panjang, nggak universal, nggak gaul, nggak keren dan sederet nggak-nggak yang lain.

Kenapa juga harus sok western minded sih?
Tuh kan saya juga, apa-apa pake istilah bahasa Inggris. Biar dibilang berkelas dan terdidik. Sekarang juga, sering kali acara di televisi menggunakan judul-judul bahasa asing yang kadang orang awam aja tidak tahu maknanya. Mereka hanya menjadi penikmat, bukan pemikir apalagi perenung. Seleb, Show, Hole, Idol, Today... dan lain-lain silahkan tambahkan sendiri. Konsumen TV juga sudah terfragmentasi. Apa pula bahasanya?. Stasiun televisi tertentu sudah mematok kalangan tertentu untuk menikmati program-program TV-nya. Secara tidak langsung itu dilakukan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan dari bahasa asing, baik diksi dari berita atau reportase misalnya ataupun dari cara penamaan program TV-nya. Semakin kemari, rakyat Indonesia sendiri jadi kurang menyukai “bahasa ibu”-nya sendiri. Boro-boro melestarikan bahasa daerah.
Pada waktu era orde baru, bahasa Indonesia demikian digalakkan. Walaupun sang pemimpin seringkali tidak menggunakannya dengan baik. Tapi ditengarai Indonesianisasi ini mengakibatkan mengurangnya pengguna bahasa daerah. Sekarang saja sudah banyak bahasa daerah, terutama dari suku-suku yang minoritas, sudah hilang karena tidak ada lagi yang menggunakannya atau penuturnya di zaman ini. Saya tidak menyebutkan angka karena tidak tahu pasti berapa jumlahnya. Tapi saya sangat yakin lebih dari dua bahasa. Wajar kan kalau saya bilang banyak?. Pertanyaan selanjutnya apakah ini yang dinamakan hukum karma?. Percayakah anda akan hukum karma?. Ketika Indonesianisasi, budaya kedaerahan ditepis sedemikian rupa sehingga hanya ada satu Indonesia, tidak ada Jawa, Madura, Sumatra, Bali, Kalimantan yang nggak disebut jangan marah!. Sekarang setelah muncul wacana baru yakni satu dunia alias globalisasi. Semua berbondong-bondong harus belajar bahasa asing akhirnya bahasa Indonesia sendiri dianak-tirikan. Tuntutan semakin besar dan persaingan semakin ketat. Meskipun kita tinggal, bekerja dan berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia. Tetap saja waktu penjaringan calon pegawai pasti ada embel-embel diutamakan yang bisa berbahasa Inggris, Mandarin. Wajar sih kalau memang kita bekerja di perusahaan multi nasional misalnya. Tapi kalau cuma di sini-sini aja?. Kalau namanya pengetahuan kan emang nggak ada ruginya. Tapi kalau sudah jadi syarat apa nggak salah?.
Terlepas dari itu, sesuatu yang memang dipaksakan selalu saja hasilnya nggak maksimal. Pernah nggak bertanya kenapa ya Indonesia nggak bisa kayak Amerika Serikat?. Padahal AS juga awalnya beda-beda suku bangsa. Tapi yang perlu dicatat AS pernah perang saudara sebelum akhirnya koloni-koloni itu bersedia untuk bersatu seperti AS sekarang. Mungkin benar apa yang pepatah Jepang bilang hujan deras akan mengokohkan tanah. Masuknya anggota koloni itu juga pada akhirnya karena inisiatif sendiri. Bukan karena takhlukan atau paksaan dari koloni lain yang telah bersatu. Keinginan sih boleh baik, tapi caranya mungkin berbeda. Kita harus bisa belajar dari sejarah, Gengis Khan, Julius Caesar dan para penakhluk besar yang lain. Pada akhirnya semua roboh seiring dengan berjalannya waktu. Termasuk di Indonesia angan-angan Maha Patih Gajah Mada. Celakanya mimpi itu terus ditanamkan pada generasi muda, tanpa memberikan masukan yang paling penting. Bahwa hasrat penakhlukkan semacam itu tidak pernah akan berhasil. Akhirnya sosialisasi “kebesaran” Indonesia zaman dulu dengan Sriwijaya dan Majapahitnya menjadi acuan untuk terus memaksa Indonesia tetap bersatu, tentu dengan cara-cara primitif pula yakni tindakan menindas dan ujung senjata yang dipakai. Kalau di Indonesia pepatahnya akan jadi begini Hujan deras akan tidak pernah berhenti.
Berarti sebenarnya kita tidak belajar apa-apa. Cuma bedanya kalau dulu pake keris paling bisa jarak dekat dan satu orang yang roboh. Kalau sekarang pake bedil, tambah cepat dan efektif membunuh banyak orang. Kayak iklan obat nyamuk saja. Bukannya saya tidak nasionalis. Kalau kakak saya atau orang tua saya baca tulisan ini mereka pasti marah besar. Maklum hasil sosialisasi Orba yang sangat berhasil. Seperti pernah saya baca tulisan Pram dulu tentang lepasnya Timtim dari Indonesia. Saya benar-benar naik pitam waktu itu. Untuk satu kali itu saya tidak sepakat dengan Pram. Mungkin itu sebabnya Pram tidak disukai Orba pikirku. Tapi mungkin aku sekarang sudah jadi Pramsian, hahahaha...
Salut dengan orang-orang Solo yang dengan blangkon dan stagen yang membebat badan siap upacara di bawah terik sinar matahari, karena keinginan luhur mereka untuk melestarikan budaya, semoga saja semuanya ikhlas melakukannya. Termasuk memberi tulisan aksara-aksara daerah untuk nama toko dan jalan di beberapa daerah di Indonesia. Memang ada banyak cara untuk melestarikan budaya. Sepatutnya kita dukung penuh keinginan seperti itu. Bukan malah dicemooh. Tapi ini juga dengan satu catatan. Generasi yang muda-muda itu juga harus diajari huruf-huruf jawa. Jangan cuma aksara latin saja. Buat apa nulis-nulis begitu kalau sama-sama ndak mengertinya. Tidak lebih dari sekedar hiasan belaka nantinya.
Kapan ya di Indonesia, kalo seragam siswa-siswinya pake batik atau kain tradisional yang lain. Kan jadi lebih membudaya kedaerahannya, sejak kecil sudah dibiasakan mencintai produk dalam negeri. Dengan begitu pembuat kain akan lebih meningkat kesejahteraanya. Memang tidak hanya dengan demikian lantas urusan kesatuan selesai. Woh sebaliknya, malah semakin kompleks. Bagaimana tidak, kalau semakin kedaerahan jadinya kan susah menyatukan Indonesia?. Tapi ternyata tidak semua kasus begitu. Menurutmu Bali itu kurang apa kalau mau jadi negara sendiri?. Tapi pernahkah terdengar orang Bali ingin lepas dari Indonesia? Tanyakan saja sama orang Bali. Hehehe...

Tidak ada komentar: