Senin, 23 Mei 2011

Kasian

Siapapun tidak akan menduga bahwa nasibnya akan begini rupa.

Sesaat lagi hidupnya akan segera di akhiri, mungkin malaikat maut berbentuk kursi nan dingin itu perantaranya.
Saat-saat sebelum ajalnya tiba, ia teringat kembali akan masa lalunya bersama Tono. Mereka berteman sejak kecil, belajar di sekolah yang sama hingga lulus SMP, maklum kota kecil itu hanya punya satu SMP. Meskipun baru lulus SMP ia memutuskan untuk menerima lamaran Tono yang umurnya hanya empat tahun lebih tua darinya. Di desanya, Ia, Kasiani, cukup beruntung, karena ia dilamar oleh Tono seorang anak tuan tanah yang cukup terpandang. Sedangkan teman-teman seumurannya yang lain sering dipaksa orang tuanya untuk dinikahkan dengan orang yang belasan tahun jauh lebih tua, hanya karena takut dibilang anaknya perempuan tidak laku.

Tono adalah anak pertama di keluarganya. Sedangkan Kasiani adalah anak yatim, semata wayang, tinggal bersama ibunya yang hanya seorang buruh tani dengan penghasilan pas-pasan. Meskipun demikian Ani, panggilannya adalah bunga desa, ia berperawakan cukup tinggi, berkulit kuning langsat dan berambut hitam tergerai panjang, matanya yang bulat, lentik dan tajam adalah warisan ayahnya. Tak aneh banyak orang memimpikan Ani sebagai isterinya, namun karena Ia dan Tono sudah lama menjalin cinta yang lainnya pun tak berani mendekat.

Akhirnya jadilah kisah Ani – Tono bak kisah Ratna – Galih hanya dengan versi yang berbeda. Tono memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya dan lebih memilih untuk meneruskan usaha Bapaknya sebagai petani yang sukses serta menikahi Ani, kekasihnya. Meskipun belum sampai ekspor produk, tapi hasil dari sawah dan kebunnya cukup besar.

Tidak lama menikah mereka pun di karunia seorang anak lelaki, mereka sepakat memberikan nama Andil. Ani begitu menyayangi anaknya, kelahirannya dirayakan besar-besaran oleh mertuanya, maklum cucu pertama dan laki-laki pula. Namun sayang, sejak Andil lahir tingkah laku Tono berubah sedikit demi sedikit. Tono yang tadinya sangat perhatian dan penyayang tiba-tiba berubah menjadi pemarah. Seringkali Tono menjadi uring-uringan tak jelas.


Pernah sekali waktu hal ini terjadi, Tono yang baru pulang lewat jam makan malam, langsung menuju meja makan. Ia membuka ranji di atas meja namun tidak menemukan apa – apa seketika ia pun berteriak. “Ani!”.


Ani yang tengah menyusui Andil pun terkaget dan segera datang menemui suaminya.
“Iya, saya datang”

“mana makananku?” Tanya Tono.
“Ada,…” belum Ani menjawab lengkap, Tono sudah melanjutkan.
“Kamu ini, perempuan tidak tahu diri, suami pulang tidak ada makanan sama sekali!. Apa saja kerjamu di rumah?”

Sekejap Ani berlari ke dapur dan tergopoh-gopoh membawa semur daging yang masih mengepul di dalam mangkok.

“Ini, saya tadi menghangatkannya dulu di dapur, supaya Mas makannya hangat.” Kata Ani menerangkan.
Tono yang belum puas melampiaskan amarahnya pun kembali berkata.
“Otakmu itu dungu atau apa? Mana piring dan nasiku? Bagaimana aku makan kalau masakannya berkuah begini?”

“Baik Mas, sebentar saya siapkan.” Ani sudah hendak berjalan ketika tangan Tono dengan kasar menarik tangannya hingga tubuhnya setengah terpelanting. Sambil berbisik Tono berkata.
“Malam ini aku mau kamu melayaniku, jadi titipkan Andil di kamar mbok Nah dulu.”
“Tapi Mas, mbok Nah sudah tidur, dan saya agak tidak enak badan.”

“Saya nggak peduli, pokoknya harus malam ini! Sana ambilkan piringku, cepat!” Dadanya sesak menahan amarah dan kesedihan, Ani merasa tak pernah mengenal suaminya yang sekarang. Tono yang dulu lembut sekarang berubah kasar. Semua yang ia lakukan selalu salah di mata Tono.

Ani tak pernah tahu sebab musababnya mengapa Tono menjadi seperti ini, sampai akhirnya.
Pintu gerbang rumah berderak, Tono yang berada di dalam kamar tidak mendengar suara itu. Pintu depan di buka dengan pelan. Suara tangisan Andil memecah keheningan, Tono bergegas merapikan bajunya dan berlari menyongsong Ani yang berjalan menuju kamar mereka sambil menggendong Andil. Tono berdiri di depan lorong menuju kamar mereka, seolah menghalangi Ani yang hendak masuk. Sekejap Ani terheran-heran dengan tingkah suaminya. Di ruang tamu ia melihat sebuah jaket hitam, tapi ia tahu itu bukan milik suaminya.
“Ada siapa di dalam?” Tanya Ani.
”Mas Rois?” suaminya menggeleng.

“Pak Hasim?” Tanya Ani dengan masih berpikiran positif. Dipertanyaan kedua ini suaminya tetap menggeleng. Tiba-tiba perasaan Ani menjadi resah.
“Perempuan?”. Suaminya kembali tidak menjawab tapi hanya manunduk. Ani tahu sekarang jawaban dari semua pertanyaannya selama ini, arti di balik semua sikap suaminya yang berubah demikian drastis. Ani yang tadinya hendak berjalan menuju kamarnya hanya berdiri terpaku dan berkata pada suaminya.

“maaf kalau saya mengganggu urusan Mas” Ani pun membalikkan badan dan berjalan dengan menahan air mata yang menumpuk dipelupuk matanya serta dada yang penuh sesak karena kekecewaan yang luar biasa. Tono tidak mengejar Ani yang bergegas pergi sambil berusaha menenangkan Andil yang terus meronta. Tono tidak juga memberikan penjelasan kepada Ani pada hari-hari berikutnya. Dengan sendirinya Ani paham bahwa suaminya tidak lagi menginginkan dirinya. Bukan karena takut pada Tono sebab ia menolak memaksa masuk untuk melihat perempuan lain yang telah bersama suaminya waktu itu. Ia hanya ingin kedamaian dalam rumah tangganya, Ia – pun tak sampai hati membuat malu perempuan lain itu meskipun perempuan itu yang mengoyak hati, mencabik jiwa raganya dan memporak-porandakan keluarganya. Pada awalnya Ani yakin bahwa ini hanya kesenangan sementara suaminya, nanti jika suaminya sudah sadar Ia pasti akan kembali pada dirinya. Hari berganti hari namun Tono tidak juga berubah. Ternyata Ani tidak pernah mengetahui dengan baik tabiat suaminya, begitupun dengan Tono yang tak pernah sadar cinta Ani padanya sangatlah besar.

Setelah ribuan doa yang ia panjatkan di sela-sela sujudnya, akhirnya Ani-pun berkeras hati bercerai dengan suaminya. Masih juga perempuan dusun itu berbesar hati memohon agar suaminyalah yang menggugat cerai dan bukan dia, agar penduduk desa tidak membicarakan hal-hal buruk tentang suaminya . Sebenarnya orang-orang dusun itu sudah mengetahui kebiasaan jelek Tono yang ternyata diam-diam suka main perempuan. Tapi kabar itu tak pernah sampai ke telinga Ani.


Setelah perceraian itu terjadi, barulah Ani tahu bahwa semua orang di desanya mengetahui perbuatan suaminya itu jauh-jauh hari sebelum Ani sendiri benar-benar mengetahuinya dengan mata kepala sendiri. Satu per satu saksi yang pernah memergoki Tono bercerita. Kedamaian yang ia pupuk di hatinya seketika sirna dan berganti menjadi kemarahan, tidak hanya pada suaminya tapi kepada seluruh penduduk desa. Ani, Andil dan Ibunya pun pergi meninggalkan desa itu. Jadilah tiga orang anak-beranak tanpa suami dan ayah itu tinggal dalam satu rumah kecil di luar desa itu. Ani hanyalah seorang lulusan SMP tanpa pengalaman kerja. Kebutuhan susu Andil dan perawatan ibunya yang sering sakit-sakitan memaksa Ani untuk menerima tawaran Koh We untuk menjadikan Ani TKW meski dengan berat hati.
Dua tahun sudah Ani di negeri orang. Rumah kecilnya di kampung perlahan diperbaiki. Kebutuhan Ibunya dan Andil terpenuhi. Dua tahun ini semuanya berjalan lancar, masuk tahun ke tiga kiriman dari Ani mulai sedikit tersendat, tengah tahun sudah tak ada kabar lagi dari Ani apalagi kiriman darinya. Hampir akhir tahun ke tiga datanglah surat dari Ani. Ibu Ani yang buta aksara itu meminta tetangganya untuk membacakan untuknya. isi surat Ani sangatlah singkat.

“Ibu, tolong jaga Andil, maafkan Ani jika selama ini Ani telah berbuat salah pada ibu!” usai mendengar isi surat yang dibacakan tetangganya itu, perempuan tua itu tahu bahwa ia mungkin tidak akan bertemu lagi dengan Ani. Ia tahu sesuatu telah terjadi pada anak semata wayangnya. Berhari-hari perempuan malang yang kian renta itu menangis. Andil yang kini berusia 6 tahun itu, tak mengerti hal apa yang membuat neneknya bersedih sampai sedemikian rupa. Lantas ia pun bertanya,
“mengapa nenek menangis?” Sang nenek malah menangis makin kencang sambil mendekap erat dirinya. Bocah malang itu-pun turut menangis.
Ani membaca doa, tangan dan bibirnya tak pernah berhenti bergerak. Rasanya baru seminggu sebelum tanggal kematiannya di tentukan Ani bertemu dengan seseorang yang mengaku dari kedutaan besar, Lelaki itu menjelaskan dan meminta maaf pada Ani atas nama pemerintah bahwa kasusnya tetap bergulir di negeri orang dengan alasan kesalahannya dilakukan di negeri itu. Sejak semula ketika ia tertangkap setelah melarikan diri dari rumah majikannya, Ia tak pernah berharap jika kasusnya akan mendapat perhatian dari pemerintah. Maka ketika pertemuannya yang terakhir dengan lelaki itu Ani hanya meminta kertas dan pulpen, serta menitipkan sebuah surat untuk ibunya di kampung.

Namanya dipanggil inilah saatnya, Ani sempat berdoa lagi sebelum badannya mengejang sebentar lalu kaku. Seminggu berikutnya jenazah Ani datang, rumah kecil di pinggir dusun yang biasanya sepi itu, tiba-tiba ramai. Andil kecil hanya menangis dan menangis karena rumahnya tiba-tiba ramai oleh orang yang tak ia kenal, banyak orang membawa kamera dan lampu berkilatan di mana-mana. (14 Februari 2011)

2 komentar:

Elfira Arisanti mengatakan...

kasian ,,,

Hermin Prajayani mengatakan...

yup... thanks sudah baca