Jumat, 12 Februari 2010

Yang Tak Tersampaikan




Aku mengenalnya sejak masih berseragam putih-biru. Bisa di bilang dia cinta pertamaku. Parasnya cantik, berkulit cemerlang, dibalut dengan kerudung santun yang melambangkan kepribadiannya. Tak ada orang yang tahu bahwa sejak awal, hatiku telah tertambat padanya. Hanya perasaanku yang semula berkata andai saja ia jadi miliku.


Dia teman sekelasku, kami jarang sekali berbincang, hanya mataku yang menyaksikan setiap gerak lakunya, telingaku hanya mendengar suara dan kata-katanya. Ah... aku dibuat mabuk kepayang karenanya. Tapi tetap tak berani ku ungkapkan kata-kata besar itu. Hanya kulantunkan dalam hati. Aku jatuh cinta padamu wahai gadis.

Selepas masa biru putih berakhir, kami tak lagi satu sekolah. Ah tapi itu bukan suatu masalah besar, karena aku tahu di mana ia tinggal. Kota kami hanyalah kota kecil, selain itu nomer teleponnya pun sudah ku pegang. Tak ada halangan berarti yang dapat mengurangi rasa ini.
Dia tetap seperti dulu, tak berkurang satu apapun. Tetap santun dan ceria. Tapi sayang tidak lama setelah itu aku dengar ayahnya meninggal. Aku pun datang ke rumahnya, sekarang ia hanya tinggal bertiga dengan kakak sulungnya juga perempuan dan ibunya. Tapi kawan dia sungguh seorang wanita tangguh.

“Hai” sapaku memulai basa-basi.
“hai, masuklah Had.” Jawabnya
Setelah aku duduk di ruang tamunya yang masih beralaskan karpet. aku kembali memulai percakapan dengannya, hanya berdua . Tak ada lagi kawan sekolah, tiba-tiba perasaan gugup menyergapku. Kami duduk bersila dan saling berhadapan.
“Maaf, tidak ada kursinya, malam hari masih di pakai buat ngaji.”
“Oh begitu” ada sedikit kejanggalan di saat seperti ini, kami tidak biasa hanya berdua seperti ini.
“Maaf aku tidak hadir waktu pemakaman” kataku memecah keheningan.
“Aku paham, kamu kan harus sekolah, hari itu, tidak langsung jadi hari libur nasional karena bapakku meninggal.” Katanya sambil tersenyum simpul.
Aku pun hanya bisa memandangnya dan ikut tersenyum. Aku rasakan jantungku semakin berdebar kencang. Aku pelan mengelus dada, takut kalau ia sampai mendengar debarannya.
“Kenapa Had? Dadamu sakit?” tanyanya cemas.
“Oh nggak!”
“Bapak dulu sering pelan mengelus dada, kami tak tahu bahwa ia bermasalah dengan jantungnya. Lebih baik kamu periksa sesegera mungkin Had.” Begitu katanya, sedih sedikit terlukis di wajahnya. Tapi seperti kukatakan kawan, dia gadis yang tegar.
“iya” jawabku sambil sedikit mengulum senyum menertawakan kegugupanku dihadapanmu. Kau tak tahu cantik. Kalau-pun aku sekarang sekarat, itu karenamu!. Kalaupun nyawaku diambil sekarang, aku rela. Karena kau ada di sini bersamaku.

Dia bercerita ini dan itu, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang ia ucapkan. Tapi mataku sibuk menghafal tiap geraknya, senyumnya, tangannya ketika menekuri lingkaran jilbabnya agar tetap rapi. Semua terekam jelas dalam benakku.
Setelah tak ada lagi kata-kata yang harus dikatakan aku pulang. Pandangannya sama terhadapku tetap dalam seperti dulu, tetap ramah, sekalipun kami sudah lama tidak berjumpa. Sesampainya di rumah datang sebuah pesan darinya.
terima kasih sudah datang berkunjung.
Sesingkat itu saja. Tapi aku tahu, dia menghargai kedatanganku.

Setahun berlalu, aku masih menyimpan perasaan yang sama, padanya. Kami masih menjalin komunikasi satu sama lain. Ah aku tetap menaruh hati padanya. Ia mengingatkanku pada sesuatu yang lama ku rindukan tapi aku tak tahu apa itu. Setiap waktu yang kuhabiskan bersamanya walau tak tampak mata dirinya di hadapanku, seakan waktu berlalu dengan sangat cepat. Aku tetap tak berani berkata bahwa aku jatuh cinta padanya. Meskipun aku tahu bahwa dia juga menyambut cintaku. Terkadang aku bingung mengapa hal yang aku kerjakan selalu saja mengkhianati hatiku sendiri.

Mungkin sesungguhnya hati sudah memilih, tapi aku tetap saja berusaha menyangkalnya dan selalu mengkhianatinya. Sekalipun sudah pernah ada cinta lain yang singgah, cintaku padanya akan tetap ada. Orang bilang cinta pertama akan tetap ada hingga liang lahat. Mungkin ungkapan itu tak berlebihan, karena cintaku yang tak tersampaikan itu tetap ada, hanya menunggu waktunya untuk diungkapkan.

Tidak ada komentar: