Rabu, 11 November 2009

Aku bukan Pengintip!

Jember, 4 Maret 2008

Jika marah tunjukkan kemarahanmu
Jika kau gembira tunjukkan kegembiraanmu
Tapi jika kau malu jangan tunjukkan ke....anmu



Pernah suatu kali, ketika melintasi jalanan di sekitar kampus (yang ngakunya) perjuangan ini. Saya melihat sepertinya ada orang yang membuang hajat (air kecil) di tepi jalan. Dalam hati kecil saya berkata ah itu wajar saja. Tukang becak, mungkin karena rumahnya terlalu jauh dari lingkungan kampus dan ia tidak punya kenalan untuk sekedar mampir meminjam toilet. Saya pun meneruskan perjalanan tak jauh dari tempat tukang becak tadi. Tiba-tiba seorang mas-mas dari arah berlawanan mengendarai sebuah motor bebek matic juga berhenti dan berlari menuju semak-semak.
Wah kalau tukang becak si masih bisa di tolerir, mengayuh pedal sampai rumah seharusnya memang lebih lama daripada mengendarai sepeda motor. Ini sih sudah keterlaluan. Kalau sedang dalam perjalanan jauh mungkin itu bisa di maafkan, apalagi tidak ada fasilitas toilet selama perjalanan. Terpaksa tepi hutan yang sepi jadi toilet temporer, tapi ini kan kampus?. Saya pun terus berlalu sambil terus bertanya-tanya. Beberapa waktu saya sudah mulai melupakan ide tulisan tentang kemerosotan rasa malu ini. Namun saya tetap bertanya-tanya dalam hati kenapa mereka lebih memlilih pinggir jalan sebagai ”toilet umum” dan yang dipilih adalah lingkungan kampus. Apa karena kampus ini banyak semak-semaknya? Atau karena rumah mereka jauh? Apa memang sangat kebelet? Lantas dari tepi jalan belok saja masuk kampus dan bereslah semuanya?. Saya yakin dari TK pendidikan jangan membuang sampah di sembarang tempat sudah diajarkan. Termasuk didalamnya juga, jangan membuang hajat di sembarang tempat (seharusnya).
Wah, kalau begini siapa yang salah? Pihak kampus memang tidak menyediakan fasilitas toilet umum di sekitar kampus karena tujuan awal dari adanya kampus adalah untuk belajar. Lagi pula kalau kebelet kan ada toilet di hampir tiap gedung. Nah kalau sekarang orang mampir ke kampus karena ingin pipis. Kampus ini mau jadi apa? Wacana perjuangan seharusnya diganti Kampus Toilet. Tentu banyak yang tidak terima di katakan demikian, ya saya pun juga. Seharusnya selain ada larangan belajar mengemudi, menggembala ternak juga harus ada larangan membuang hajat sembarangan di seputaran kampus. Walaupun adanya larangan tetap saja ada yang latihan mengemudi dan menggembala kambing. Paling tidak rasa peduli itu ada. Dan si Rule Broker-nya jadi sedikit sungkan. Paling tidak memilih waktu kalau mau belajar mengemudi. Kalau fenomena kambing pinter, memang sudah lama di kampus ini. No comment lah.
Saya biarkan angan-angan dan pikiran saya berhenti sampai disitu. Beberapa hari yang lalu ketika saya hendak pulang ke kampung halaman. Ditepi jalan sebuah mobil mewah terparkir rapi di pinggir jalan. Tak lama kemudian seorang mas-mas dari dalam mobil keluar dan segera membuat ancang-ancang akan buang hajat. Langsung saja saya berkomentar. “Gak kuat sama mobilnya, eh pipisnya di pinggir jalan!”. Padahal bisa saja dia berhenti di pom bensin terdekat yang padahal tidak ada satu (1) kilometer dari tempat orang tadi buang air kecil. Bukan, saya bukan pengintip. Tapi tidak sengaja melihat. Bukan salah saya jika tidak sengaja melihat, karena sepertinya mereka tidak peduli ke....annya di lihat secara tidak sengaja.

Tidak ada komentar: