Rabu, 11 November 2009

Gadis kecil

Jember, 6 Februari 2009
Gadis kecil itu duduk di bangku mini tempatnya biasa menghabiskan sabtu malam di rumah. Tak berkata ia, hanya diam dan sesekali terlonjak dan segera berlari keluar jika mendengar suara kendaraan lewat di depan rumahnya. Jika ternyata kendaraan itu hanya melewatinya, ia pun akan kembali duduk diam di kursi mininya.
Seperti menjelang sabtu malam yang sebelumnya, sebelum ia duduk di singgasana mini itu. Ia akan berdandan lebih istimewa dari hari biasanya. Seperti malam ini, Ia pakai gaun merah jambu favoritnya dan meminta ibu membantunya mengenakan pita yang serasi dengan bajunya.
Sepuluh menit berlalu dari jam tujuh, tapi yang dinantinya tak kunjung tiba. Tapi sang gadis tak juga beranjak dari tahtanya, tetap setia sembari terkadang asik memainkan jarinya. Seribu alasan ia cari untuknya tetap duduk. Mungkin kendaraannya sedang mogok di tengah sawah, mungkin salah satu bannya bocor, dan beberapa kemungkinan lain yang menyebabkan ia terlambat di sabtu malam kali ini sembari tak henti berdoa semoga ia lekas datang.
Ibu mulai menjelaskan pada gadis, kemungkinan besar sabtu malam ini dan berikutnya ia tidak akan bertemu dengannya. Akal kecilnya tak mampu menerima. Ia tahu tidak mungkin ia tidak datang. Sabtu malam selalu menjadi hari yang ditunggunya, sejak ia pertama kali bertemu. Ia ingat pada satu sabtu sore sebuah suara di ujung lain itu memberitahu jika ia tak kan datang. Jadi gadis tak perlu menunggunya atau berdandan lebih istimewa demi dirinya.
Setengah jam telah berlalu dari waktu biasa mereka bertemu, tapi langkah kaki di halaman tidak terdengar sekali pun. Gadis kecil itu ingat. Dia berkata pada sang gadis di satu sabtu malam, “uhm bagaimana kalau rambut indahmu ini kamu ikat dengan pita yang serasi dengan bajumu ini?” dan gadis membiarkannya untuk mengatur rambutnya sedemikian rupa dan melilitkan sehelai pita yang senada dengan bajunya. “bagaimana sekarang? Bukankah kamu tampak lebih cantik, manis?”. Gadis pun jadikannya ritual sabtu sore.
Gadis kecil sudah lelah menunggunya, tubuh kecilnya mulai mancari posisi nyaman dalam singgasana kecilnya. Matanya pun kian menyipit. Terkadang ibu melihat kepalanya terantuk-antuk. “nak, lebih baik tidur dikamar ya?”
Tapi gadis tetap bertahan, menunggunya “tidak bu, nanti kakak datang dan aku tidak bertemu dengannya!” Ibu pun mundur kembali.
Gadis ingat saat kakak tiba dan membawakan sebatang coklat kesukaannya. Mereka tertawa bersama, kakak sangat pandai bercerita ia ingat betul sebuah cerita dari negeri dongeng bahwa ada seorang putri yang baik hati dan cantik jelita sehingga ibu tirinya iri terhadap kecantikannya jadilah sang putri itu di buang dan hendak ia bunuh. Namun kearifan putri itu mampu menyihir utusan pembunuh itu sehingga tidak membunuhnya dan hanya meninggalkannya di hutan. Kelak di hutan itu ia hidup bersama tujuh sahabat kecilnya.
Mereka hidup dengan bahagia dan bersahabat dengan alam. Tetapi sang ibu tiri ternyata mengetahui bahwa sang putri ternyata masih hidup. Ibu tiri yang jahat itu pun kembali berniat membunuh putri itu. Ia meracuni sang putri itu. Akibatnya sang putri tertidur selama ratusan tahun. Putri menunggu seorang pangeran yang bisa membangunkannya dari tidur panjang.
Beratus tahun berlalu. Akhirnya pangeran itu datang dan membangunkan putri dari mimpi menahunnya. Mereka pun hidup bahagia selamanya.
Gadis sudah tertidur, kepalanya jatuh. Perlahan ibu mengangkatnya dan membaringkannya di tempat tidur. Segalanya rapi, ibu pun tidak mencoba menggantikan bajunya. Ibu takut gadis kecil itu akan terbangun.
Ibu memandang gadis kecilnya, perlahan ia usap kepalanya,
Ibu duduk di pinggir tempat tidur,
“entah bagaimana ibu menyampaikannya?”
“kakak tidak akan datang hari sabtu malam ini, atau sabtu malam selanjutnya”.
“kakak sudah pergi, kakak tirimu itu telah pergi meninggalkan kita semua!”
Ibu menatap wajah gadis yang lelah menunggu. Buliran air mata mulai membasahi pipinya.
Seminggu yang lalu telepon berdering mengabarkannya telah berpulang ke sisi Tuhan. Tidak ada yang pernah tahu, bahkan membayangkan saja rasanya tak mungkin. Wanita semuda itu akan meninggalkan yang tua lebih dulu. Sungguh tak ada yang mengira. Gadis pun tidur dengan lelap. Dia masihlah seorang gadis kecil. Belum lah dia mengerti hal semacam ini. Tak ada yang akan merenggut ritual sabtu malam dari gadis kecil. Ibu pun hanya berharap kelak ia akan mengerti dengan sendirinya.
Sabtu sore ini pun tidak, gadis masih juga mematut-matutkan baju dan pitanya. Namun ibu tidak lagi membantunya. Bukan pula kakak yang ia nantikan melainkan seorang lain yang membuat hatinya berbunga-bunga.
“kakak kau lihat? Apakah aku cantik? Dimanapun engkau sekarang kak. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu mengingatmu!”.

Tidak ada komentar: